Kamis, 08 Desember 2011

Telaah Wahyu : Tak Layak Mencari Hakim Selain Allah

Maka patutkah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Alquran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Alquran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu [TQS al-An’am [6]: 114).

Banyak fakta yang menunjukkan betapa rusaknya ketika manusia, masyarakat, dan negara yang ditata dengan hukum produk hawa nafsu manusia. Meskipun fakta tersebut dapat diindera dengan kasat mata, namun seruan untuk segera mencampakkan hukum jahiliyyah itu seraya segera menerapkan syariah, masih banyak mendapat penolakan. Padahal, tidak ada satu pun argumentasi yang dapat diterima untuk mendukung dan membenarkan penolakan tersebut.
Manusia tidak layak mengambil dan menerapkan hukum buatan manusia, amat banyak dijelaskan dalam ayat maupun hadits Nabi SAW. Ayat ini adalah di antaranya.
Hanya kepada Allah
Allah SWT berfirman: Afaghayrul-Lâh abghîhakam[an] (maka patutkah aku mencari hakim selain Allah).Dijelaskan al-Baghawi bahwa sesungguhnya dalam ayat ini terdapat kata yang disembunyikan, yakni: Katakan kepada mereka, wahai Muhammad, apakah kepada selain Allah saya mencari hakim antara aku dan kalian? Menurut Abu Hayyan, kaum Musyrikin Arab berkata kepada Nabi SAW, “Jadikanlah antara kami dengan engkau hakim dari pendeta Yahudi atau pendeta Nasrani untuk mengabarkan kepada kami tentang engkau berdasarkan kitab mereka.” Lalu, turunlah ayat ini.
Ayat ini diawali dengan hamzah al-istifhâm, huruf yang berguna sebagai kata tanya. Dalam konteks ayat ini, sebagaimana dijelaskan al-Syaukani, al-Alusi, dan al-Biqa’i, kata tersebut memberikan makna al-inkârî. Yakni kalimat tanya yang bertujuan mengingkari perkara yang disebutkan. Bisa juga bermakna al-nafiyy (menegasikan) sebagaimana diterangkan Abu Hayyan al-Andalusi. Dalam Alquran, cukup banyak uslub seperti ini, seperti firman Allah SWT: Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan (TQS Ali Imran [3]: 83).
Perkara yang diingkari dan dinafikan dalam ayat ini adalah tindakan mencari hakamselain Allah SWT. Menurutahli bahasa, kata al-hakam semakna dengan kata al-hâkim.Artinya, man yatahâkamu ilayh al-nâs (orang atau pihak yang menjadi rujukan bagi manusia dalam memutuskan perkara). Demikian al-Jazairi dalam tafsirnya, Aysar al-tafâsâr. Hanya saja, menurut sebagian ahli takwil, kata al-hakam lebih sempurna daripada kata al-hâkim. Sebab, al-hâkim mencakup semua orang yang menghukumi, sedangkan al-hakam tidak menghukumi kecuali dengan benar. Demikian Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya, Mafâtîh al-Ghayb.
Dengan demikian, ayat ini memberikan pengingkaran terhadap tindakan orang yang mencari pemutus perkara dengan keputusan yang benar kepada selain Allah SWT. Selain ayat ini, amat banyak dalil yang memberikan celaan dan larangan terhadap orang yang tidak mau berhukum kepada-Nya atau hukum yang diturunkan-Nya, seperti QS al-Nisa [4]: 60, al-Maidah [5]: 45, 46, dan 47, dan lain-lain.
Kitab-Nya Sudah Terperinci
Bahwa tindakan mencari hakam selain Allah SWTmerupakan tindakan yang tidak layak, ditegaskan dalam frasa selanjutnya: Wahuwa al-ladzî anzala ilaykum al-Kitâb mufashshal[an] (padahal Dialah yang telah menurunkan kitab [Alquran] kepadamu dengan terperinci?).Menurut al-Alusi, kalimat ini berkedudukan sebagai hâl yang berfungsi muakkidah li al-inkâr (menegaskan makna pengingkaran).
Maksud dari kata al-Kitâb dalam kalimat ini adalah Alquran.Sebagaimana dijelaskan para mufassir, seperti al-Syaukani, Ibnu Athiyah, al-Wahidi al-Naisaburi, al-Biqa’i, dan lain-lain. Sedangkan mufashshal[an], menurut al-Syaukani, berarti mubayyan[an]wâdhih[an] mustawfiyan li kulli qadhiyyah’alâ al-tafshîl (terang, jelas, dan mencukupi untuk semua masalah secara terperinci).
Tak jauh berbeda, al-Alusi juga memaknainya sebagai mubayyan (terang). Di dalamnya terdapat penjelasan tentang yang haq dan batil, halal dan haram, dan berbagai hukum lainnya sehingga tidak ada satu pun perkara agama yang rancu dan samar. Maka semua kebutuhan sesudah itu, dapat merujuk kepada hukum tersebut.
Bahwa Alquran telah memberikan penjelasan tentang hukum secara menyeluruh juga diberitakan dalam firman-Nya: Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu(TQS al-Nahl [16]: 89). Juga dalam QS Hud [11]: 10. Oleh karena Alquran memberikan penjelasan secara menyeluruh dan terperinci, maka manusia tidak memerlukan lagi hukum-hukum lainnya dalam perkara al-dîn. Mengapa masih mencari yang lain sementara semua jawaban atas pertanyaan hukum sudah tersedia dalam Alquran?
Realitas Ahli Kitab
Setelah dijelaskan tentang keharusan berhukum kepada-Nya, kemudian diberitakan mengenai realitas sesungguhnya Ahli Kitab terhadap Alquran. Allah SWT berfirman: Wal-ladzîna âtaynâhum al-Kitâb ya’lamûna annahu munazzal min Rabbika bi al-haqq(orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Alquran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya).Penunjukan kata al-Kitâbdalam frasa ini berbeda dengan frasa sebelumnya. Sebagaimana diterangkan al-Biqa’i, kata al-Kitâb dalamfrasa ini menunjuk kepada Taurat, Zabur, dan Injil. Sehingga, maksud dari orang-orang yang telah diberikan al-Kitabini adalah Yahudi dan Nasrani. Merekalah kaum yang telah diberikan kitab-kitab tersebut. Menurut Abu Hayyan, al-Jazairi, dan al-Shabuni, dalam konteks ayat ini, mereka adalah para pendeta Yahudi dan Nasrani. Sedangkan dhamîr al-ghâib pada kata annahu menunjuk kepada Alquran.
Diberitakan dalam ayat ini, sesungguhnya mereka telah mengetahui kebenaran Alquran. Mereka juga mengetahui bahwa Alquran benar-benar merupakan kitab yang diturunkan Allah SWT, yang di dalamnya tidak ada perkara yang batil dan meragukan. Imam al-Qurthubi menafsirkan frasa munazzal min Rabbika bi al-haqq dengan ungkapan: Semua yang ada di dalamnya, baik janji maupun ancaman, merupakan kebenaran.
Menurut sebagian mufassir, seperti al-Nasafi, maksud dari al-ladzîna âtaynâ al-Kitâb adalah orang-orang Mukmin yang sebelumnya berasal dari Ahli Kitab, seperti Abdullah bin Salam dan teman-temannya. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran Alquran.
Akan tetapi tampaknya penafsiran ini tidak tepat. Sebab ada beberapa nash yang menunjukkan bahwa selain mereka (Ahli Kitab) yang masuk Islam, sesungguhnya juga mengetahui kebenaran Alquran dan kenabian Rasulullah SAW (lihat QS al-Baqarah [2]: 146, al-An’am [6]: 20). Akan tetapi, pengetahuan mereka terhadap kebenaran Alquran tidak lantas membuat mereka menjadi beriman. Sebagian besar mereka tetap bersikap ingkar karena kesombongan dan kedengkian mereka. Allah SWT berfirman: Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran (TQS al-Baqarah [2]: 109).
Bahkan bukan hanya Ahli Kitab, semua orang yang mau menelaah Alquran niscaya akan berkesimpulan sama. Sebab, sebagai Kitab yang ditujukan untuk seluruh manusia, kemukjizatan Alquran dapat dijangkau oleh semua manusia. Oleh karena itu, tatkala manusia menggunakan akalnya dengan benar pastilah dapat menangkap kebenaran Alquran.
Kemudian ayatini ditutup dengan firman-Nya: Falâ takûnanna min al-mumtarîn (maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu).Menurut al-Alusi, pengertian al-mumtarîn adalah al-mutaraddidîn (orang-orang yang ragu). Tak jauh berbeda, al-Qurthubi juga menafsirkannya sebagai al-syâkkîn (orang-orang yang ragu). Yakni, orang-orang yang ragu bahwa Alquran itu diturunkan Allah.
Khithâb (seruan) ayatini secara zhahir ditujukan kepada Nabi SAW. Seruan tersebut bisa bermakna sebagai al-tahyîj wa al-ilhâb (membangkitkan dan mengobarkan semangat). Ini sebagaimana firman Allah SWT: Dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik(TQS al-An’am [6]: 14). Bisa juga dipahami, bahwa eruan tersebut pada hakikatnya ditujukan kepada umatnya.
Demikianlah. Tidak ada alasan yang dapat membenarkan sikap yang menolak hukum yang diturunkan Allah SWT. Selain hukum tersebut dijamin kebenarannya, juga telah memberikan solusi permasalahan hidup manusia secara menyeluruh. Termasuk dalam aspek politik, ekonomi, pendidikan, pergaulan pria-wanita, pidana, dan lain-lain. Inilah satu-satunya hukum yang akan mengantarkan mansuia meraih kebahagian di dunia dan akhirat. Wal-lâh a’lam bi al-shawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar